Mendidik anak bukanlah sebuah prosedur
khusus, atau sebuah kursus dengan kurikulum tertentu yang menjadikan
anak sebagai peserta wajibnya. Perlakuan terhadap anak, jikalau
demikian, seolah kurang manusiawi. Anak sepertinya harus tumbuh sesuai
dengan keinginan orang tua sehingga kreativitasnya sendiri terhambat.
Padahal setiap anak memiliki potensi yang berbeda. Sekarang adalah
tinggal para pendidiknya (orang tua dan guru) yang bisa mendampingi anak
menemukan dirinya. Caranya tentu tidak sekaku sebuah arena pendidikan
formal seperti tadi dianalogikan sebagai sebuah kursus, melainkan bisa
melalui peristiwa keseharian yang bisa menjadi pintu masuknya
unsur-unsur pendidikan bagi anak.
1. Membantu Anak Berfikir Kreatif.
Latih anak dengan pertanyaan-pertanyaan alasan mengapa kita melakukan sesuatu menurutnya. Misalnya mengapa kita harus belajar setiap hari. Biarkan anak bereksplorasi dengan jawaban-jawabannya. Jangan menyalahkan jawabannya sekalipun jawabannya itu salah, akan tetapi ajak anak mengembangkan pikirannya untuk mencari lagi jawaban lain misalnya dengan pertanyaan, “Terus apa lagi?” dan seterusnya.
Latih anak dengan pertanyaan-pertanyaan alasan mengapa kita melakukan sesuatu menurutnya. Misalnya mengapa kita harus belajar setiap hari. Biarkan anak bereksplorasi dengan jawaban-jawabannya. Jangan menyalahkan jawabannya sekalipun jawabannya itu salah, akan tetapi ajak anak mengembangkan pikirannya untuk mencari lagi jawaban lain misalnya dengan pertanyaan, “Terus apa lagi?” dan seterusnya.
2. Melatih Anak Berdiskusi
Ketika anak menyatakan sesuatu pendapat, ajaklah anak menemukan alasan atau motifnya dengan memperlihatkan keingintahuan kita terhadap apa yang diungkapkan anak. Tetapi jangan menggiringnya kepada jawaban yang seharusnya atau diinginkan orang tua misalnya dengan menyudutkannya untuk memberikan alasan yang jelas. Hal tersebut akan mengakibatkan anak mencari alasan lain yang bisa menyenangkan (memuaskan) orang tua padahal itu bukanlah alasannya.
Ketika anak menyatakan sesuatu pendapat, ajaklah anak menemukan alasan atau motifnya dengan memperlihatkan keingintahuan kita terhadap apa yang diungkapkan anak. Tetapi jangan menggiringnya kepada jawaban yang seharusnya atau diinginkan orang tua misalnya dengan menyudutkannya untuk memberikan alasan yang jelas. Hal tersebut akan mengakibatkan anak mencari alasan lain yang bisa menyenangkan (memuaskan) orang tua padahal itu bukanlah alasannya.
3. Menanamkan Kebiasaan Membaca
Tidak perlu menunggu anak masuk usia 2 hingga 6 tahun. Sebenarnya ini bisa dilakukan juga pada saat anak masih 4 bulan! Tujuannya tentu bukan agar si anak memahami isi bacaan akan tetapi merangsang aspek-aspek psikisnya. Bukunya pun lebih yang berbentuk buku bergambar dengan warna-warni dan sedikit kata. Dengan membacakan buku tersebut pada anak, akan merangsang kognisi, komunikasi, sosial, dan afeksi. Keikutsertaan anak memegang buku pun akan membuat anak merasakan keterlibatan secara emosional.
Tidak perlu menunggu anak masuk usia 2 hingga 6 tahun. Sebenarnya ini bisa dilakukan juga pada saat anak masih 4 bulan! Tujuannya tentu bukan agar si anak memahami isi bacaan akan tetapi merangsang aspek-aspek psikisnya. Bukunya pun lebih yang berbentuk buku bergambar dengan warna-warni dan sedikit kata. Dengan membacakan buku tersebut pada anak, akan merangsang kognisi, komunikasi, sosial, dan afeksi. Keikutsertaan anak memegang buku pun akan membuat anak merasakan keterlibatan secara emosional.
4. Menghindari Kesalahan Memotivasi Anak
Membuat anak merasa bersalah ketika anak tidak berbuat sesuai dengan keinginan orang tua dan harapan anak termotivasi untuk berbuat lebih baik, justru akan membuat anak merasa rendah diri, tidak percaya diri, dan sebagainya. Demikian pula jikalau kita membandingkan anak dengan seseorang yang lain yang dianggap lebih. Bukannya anak termotivasi untuk berbuat seperti orang lain tersebut melainkan justru membuat anak merasa tidak berharga. Sikap terbuka dan mau mendengarkan anak serta mendampinginya, akan lebih berharga bagi anak sehingga anak lebih termotivasi melakukan hal-hal yang prestatif dan membanggakan orang tuanya.
Membuat anak merasa bersalah ketika anak tidak berbuat sesuai dengan keinginan orang tua dan harapan anak termotivasi untuk berbuat lebih baik, justru akan membuat anak merasa rendah diri, tidak percaya diri, dan sebagainya. Demikian pula jikalau kita membandingkan anak dengan seseorang yang lain yang dianggap lebih. Bukannya anak termotivasi untuk berbuat seperti orang lain tersebut melainkan justru membuat anak merasa tidak berharga. Sikap terbuka dan mau mendengarkan anak serta mendampinginya, akan lebih berharga bagi anak sehingga anak lebih termotivasi melakukan hal-hal yang prestatif dan membanggakan orang tuanya.
Anak adalah amanat Sang
Pencipta pada orang tua, keluarga dan masyarakat yang harus dikelola
sebagai aset masa depan. Wajah masa depan sebuah negeri dapat dilihat
dari bagaimana kualitas anak-anak masa kini.
Semoga bermanfaat..!!!
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon Komentar dengan bahasa yang sopan..!!!